Crime Batanghari

Portal berita kriminal #1 di Batanghari

Advertisement

Ketua LAD Desa Jebak Diduga Langgar Hukum: Surat Kuasa Cacat dan Berbau Pungli di Tanah Adat

Crimebatanghari.com, Batanghari — Aroma pelanggaran hukum mulai tercium tajam dari jantung Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi. Sebuah surat kuasa bernomor 04/LAD-JBK/V/2025 yang diteken oleh Kasmiran, Ketua Lembaga Adat Tali Tigo Sepilin Desa Jebak, kini menjadi sorotan tajam masyarakat dan pemerhati hukum. Surat tersebut memberikan wewenang penuh kepada dua individu sipil untuk mendata, mengklaim, dan menarik iuran dari para pemilik kebun yang berada di atas lahan yang diklaim sebagai tanah adat — sebuah tindakan yang berpotensi melanggar konstitusi dan tatanan hukum nasional, Minggu (8/06/2025).

Dokumen ini, yang sekilas tampak sederhana, justru menyimpan potensi pelanggaran serius baik dari aspek administratif maupun hukum positif Indonesia.

Cacat Substantif dan Administratif dalam Surat Kuasa, Berdasarkan penelusuran redaksi Crimebatanghari.com, terdapat sejumlah kejanggalan dan kekeliruan mendasar dalam pembuatan surat tersebut:

  1. Tidak dicantumkannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari pemberi maupun penerima kuasa menimbulkan pertanyaan atas legalitas dan pertanggungjawaban surat ini secara hukum.
  2. Penggunaan istilah adat seperti “pancung alas” tanpa definisi legal atau dasar hukum memperkeruh makna surat tersebut di mata hukum formal.
  3. Tidak adanya batas waktu pelaksanaan kuasa serta mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, membuka celah bagi potensi penyalahgunaan dan eksploitasi berkepanjangan.
  4. Ketiadaan keterlibatan perangkat desa, seperti Kepala Desa, BPD, maupun dinas terkait, membuat kewenangan ini seolah-olah berdiri di luar kendali pemerintahan.
  5. Potensi konflik kepentingan muncul karena surat kuasa ini memberi wewenang finansial tanpa sistem pengawasan atau akuntabilitas yang sah.

Pelanggaran Hukum: Lembaga Adat Bukan Di Atas Undang-Undang, beberapa regulasi negara yang berpotensi telah dilanggar oleh pembuatan dan pelaksanaan surat kuasa ini antara lain:

  1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 50 ayat (3) huruf a: Melarang setiap orang melakukan kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin resmi.

Pasal 78 ayat (2): Menyatakan ancaman pidana bagi siapapun yang menguasai kawasan hutan secara ilegal.

Jika lahan yang diklaim sebagai tanah adat ternyata berada di wilayah Tahura atau kawasan hutan lindung, maka kegiatan pendataan dan penarikan iuran di atasnya adalah tindak pidana kehutanan.

  1. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pasal 26 ayat (4): Menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola desa.

Tanpa musyawarah desa (musdes) dan partisipasi perangkat resmi, tindakan pemungutan iuran oleh LAD ini dapat dikategorikan ilegal dan tidak demokratis.

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 368 KUHP: Mengatur larangan pemerasan dan pungutan tanpa dasar hukum, dengan ancaman pidana hingga 9 tahun.

Bila ditemukan unsur intimidasi atau penyalahgunaan nama lembaga adat untuk menarik uang dari masyarakat, maka ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli).

  1. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Pasal 17: Melarang setiap pejabat publik, termasuk tokoh adat yang memiliki pengaruh administratif, untuk menyalahgunakan kewenangannya.

Kasmiran selaku Ketua LAD diduga telah bertindak melampaui batas dengan mengatur dan mengeksekusi kewenangan di luar perannya yang sah.

Kearifan Lokal Tidak Kebal Hukum, Lembaga adat memang memegang peranan penting dalam menjaga nilai-nilai lokal dan budaya masyarakat. Namun, keberadaan dan wewenangnya tetap harus tunduk pada hukum nasional. Tidak boleh ada celah di mana nama “adat” dijadikan tameng untuk bertindak sewenang-wenang atas nama masyarakat, apalagi menyangkut urusan finansial dan penguasaan tanah.

Desakan Pemeriksaan dan Tindakan Tegas, Mengingat potensi pelanggaran yang mengarah pada tindakan pidana, berbagai elemen masyarakat kini menyerukan langkah cepat dan tegas dari institusi pengawas dan penegak hukum:

  1. Inspektorat Daerah dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) diminta segera turun tangan untuk mengaudit dan mengevaluasi legalitas surat kuasa tersebut.
  2. Kepolisian Resor (Polres) Batanghari dan Kejaksaan Negeri (Kejari) harus menyelidiki apakah terdapat unsur pemerasan, penyalahgunaan kewenangan, atau tindakan pungli.
  3. Ombudsman RI serta lembaga antikorupsi seperti ICW dan KPK diharapkan mengawasi potensi penyalahgunaan dana dan wewenang di bawah label “adat” yang tidak terkontrol.

Di tengah upaya penegakan supremasi hukum dan tata kelola yang bersih, tindakan seperti ini menjadi ujian nyata. Masyarakat berharap agar lembaga adat tetap menjadi benteng nilai dan bukan menjadi alat baru kekuasaan yang menghisap warganya sendiri. Hukum harus ditegakkan — tak peduli siapa pelakunya dan atas nama apa kekuasaan itu dijalankan. (BSO)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *